Realisasi Kebijakan Sanitasi di Indonesia
Diulas oleh: Kementerian Sosial Politik dan Kementerian Pengabdian Masyarakat
Sanitasi adalah prinsip-prinsip untuk meniadakan atau menguasai faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit melalui kegiatan seperti pengendalian sanitasi air, makanan, pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, udara, vektor, dan binatang pengerat serta hygiene merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Sanitasi pada lingkup kesehatan, sumber daya manusia, dan ekonomi memberikan dampak signifikan bila tidak diperhatikan dengan baik.
Di Indonesia sendiri, sudah tercatat beberapa masalah sanitasi yang terjadi karena kurang memperhatikan kebersihan, air, maupun komponen sanitasi. Dalam hal kami akan membahas sanitasi air. Tidak kurang dari 85% air bersih berubah menjadi air limbah. Sebagai gambaran, apabila satu orang menggunakan 100 liter air/hari untuk minum dan MCK maka air yang dibuang menjadi air limbah sekitar 85 liter per hari (Elysia, 2018: 157). Oleh karenanya, pengelolaan air bersih berkaitan dengan pengelolaan sanitasi.
Sebuah survei air minum 2017 di Yogyakarta, menemukan bahwa 89% sumber air dan 67% air minum rumah tangga terkontaminasi oleh bakteri tinja. Saat ini, Indonesia masih menghadapi tantangan untuk menuntaskan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 yang menetapkan akses universal 100% air minum, 0% pemukiman kumuh, dan 100% stop bebas buang air besar sembarangan (SBS). Berdasarkan data yang dirilis oleh sekretariat STBM, hingga 2015 sebanyak 62 juta atau 53% penduduk pedesaan masih belum memiliki akses terhadap sanitasi yang layak. 34 juta di antaranya masih melakukan praktik buang air besar sembarangan. Diperlukan percepatan 400% untuk mencapai target Indonesia stop buang air besar sembarangan (SBS) pada tahun 2019.
Dalam mencapai pemerataan sanitasi yang menyeluruh bagi masyarakat, tercipta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 185 tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi. Peraturan ini menggencarkan sanitasi untuk menjamin perwujudan kesehatan melalui pembangunan sanitasi, kualitas, serta pengelolaan sanitasi yang ramah lingkungan dengan akses yang lebih luas bagi masyarakat secara berkelanjutan.
Dalam mencapai cita-cita salah satu pilar SDGs 2030 tersebut, Indonesia merumuskan target universal coverage di sektor sanitasi sebesar 100%. Namun, harapan tidak seindah realitas. Angka di lapangan masih jauh dari target yang ditetapkan. Bagaimana tidak? Peringkat akses sanitasi di Indonesia termasuk yang terburuk di ASEAN dengan penetrasi sebesar 61%. Hal ini menjadi PR yang harus segera dibenahi oleh birokrasi Indonesia (WHO dalam UNICEF, 2017).
Hal ini semakin diperparah dengan kegagalan pemerintah akan payung hukum dan birokrasi yang kuat untuk mengeksekusi perbaikan sanitasi masyarakat secara terpadu (SNV Netherlands Development Organization). Kehadiran APBN dan APBD sebagai sumber pendanaan pemerataan sanitasi sehat juga masih belum optimal dan membutuhkan peninjauan lebih lanjut.
Melansir Kementerian PUPR (2017), dana yang dibutuhkan Indonesia untuk melaksanakan universal coverage periode 2015–2019 adalah sebesar Rp273,7 triliun. Ini sangat jauh jika dilihat dari kemampuan APBN yang hanya sebesar Rp35,645 triliun.
Kondisi ini lahir dari minimnya investasi pemerintah pusat dan daerah akan sanitasi. Alokasi APBD dan APBN masih banyak dikelola untuk sektor lain, tanpa mempertimbangkan betapa pentingnya pembangunan sanitasi berbagai wilayah di Indonesia. Inilah yang menyebabkan ketimpangan akses sanitasi di daerah urban dan rural.
Di daerah urban, diketahui bahwa sekitar 79,7% rumah tangga telah memiliki akses fasilitas MCK pribadi. Sementara, hal ini terjadi hanya 59% bagi masyarakat yang tinggal di daerah rural (Depkes RI, 2010). Hal ini pun sejalan dengan kajian WHO (2015) bahwa 20% penduduk Indonesia masih belum menggunakan toilet sebagai sarana sanitasinya.
Dari kondisi yang ada, diketahui jika perbaikan sanitasi tidak hanya berfokus terhadap pengembangan infrastruktur, melainkan turut pada perubahan perilaku masyarakat. Masyarakat masih minim akan kesadaran melakukan praktik sanitasi yang sehat. Sebut saja seperti Jawa Timur di mana 34% dari mereka puas dan terbiasa buang air besar di tempat terbuka (Devine, 2009).
Berdasarkan pemaparan yang ada, kita bisa lihat jika peraturan-peraturan yang dicanangkan pemerintah masih belum terealisasi secara komprehensif. Birokrasi kita masih menutup mata tentang pemerataan akses sanitasi di Indonesia. Alhasil, alokasi APBN dan APBD menjadi minim. Investasi swasta juga tidak berfokus pada hal ini, dan ini memperlihatkan betapa lemahnya payung hukum dan legislasi pemerintah akan sanitasi.
Tidak hanya melalui regulasi senantiasa mempertegas pengaturan, juga perlu usaha dari pemerintah Indonesia bisa mendapatkan dukungan dari luar mampu mengajak kerja sama dengan UNICEF, Dia mampu membantu memperkuat kualitas data pemerintah dan sistem pemantauan agar program yang relevan dengan pengelolaan sanitasi secara lintas sektoral kesehatan, gizi, dan tingkat kesehatan yang lebih luas serta intervensi sosial dapat diperluas. Upaya tersebut difokuskan dengan melakukan advokasi tingkat tinggi dan kemauan politik bersama dengan menyelaraskan kebijakan dan program pengelolaan sanitasi,memastikan bahwa kebijakan didasarkan pada informasi dan data yang andal dan terkini.
Ketika pimpinan sudah melakukan perubahan, sehingga yang berada di bawah kekuasaannya Perlu melakukan perubahan mengenai permasalahan sanitasi. Ini dapat kita terapkan mengubah perilaku, dimulai dari membangun kemauan politik untuk menciptakan norma sosial nasional baru dalam mendukung sanitasi yang dikelola dengan aman. Memotivasi diri melakukan perubahan perilaku sosial melalui advokasi dan keterlibatan tingkat tinggi dalam kemitraan Sanitasi dan Air untuk Semua.
Referensi
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2017. Kebijakan dan Strategi Bidang PPLP. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/resources/ws_transperancy_framework/r4_05_kemenpupera.pdf
Peraturan Presiden Republik Indonesia. 2014. Percepatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi. Jakarta: Sekretariat Kabinet RI.
PT Sarana Multi Infrastruktur. 2017. SMI’s Insight 2017-Triwulan IV. PT Sarana Multi Infrastruktur.
https://www.ptsmi.co.id/wp-content/uploads/2015/09/SMI_Insight_Q4_2017_IND.pdf
SNV Netherlands Development Organization. Membangun Sanitasi dan Keberhasilan yang Berkelanjutan di Perkotaan.
https://snv.org/assets/explore/download/snv_indonesia_urban_sanitation_brochure_bahasa_indonesia.pdf
WHO/UNICEF. 2017. Progress on Drinking Water, Sanitation, and Hygiene: 2017 Update. New York and Geneva: WHO & UNICEF
Public Health. 2017. Masalah Sanitasi Indonesia. http://www.indonesian-publichealth.com/masalah-sanitasi-di-indonesia/
Suryani A.S. 2020. Pembangunan Air Bersih dan Sanitasi saat Pandemi Covid-19. Jurnal Masalah-Masalah Sosial | Volume 11, №2 Desember
UNICEF Indonesia. Air, Sanitasi dan Kebersihan (WASH). https://www.unicef.org/indonesia/id/air-sanitasi-dan-kebersihan-wash