Mengamalkan Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka
Diulas oleh: Rionanda Dhamma Putra
Apa arti sebuah budaya? Koentjaraningrat (dalam Sari, 2014) menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dari definisi ini, terlihat bahwa budaya adalah elemen fundamental dari sebuah masyarakat. Tanpa budaya, maka masyarakat akan kehilangan identitasnya.
Identitas itu tidak jatuh dari langit. Dia datang dari hasil pembelajaran bersama. Pembelajaran tersebut menanamkan nilai dan norma yang melandasi kehidupan masyarakat. Lantas, pendidikan formal menjadi salah satu proses pembelajaran paling krusial.
Lewat pendidikan formal, individu dibangun untuk menjadi warga negara yang beradab dan berbudaya. Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka mengilustrasikan proses pembangunan ini sebagai “memperhalus perasaan” (Basrahil, 2018). Lebih jauh lagi, membangun kepekaan peserta didik agar sadar akan budaya masyarakat di sekitarnya.
Kesadaran berbudaya inilah yang sedang darurat di antara peserta didik kita sebagai penerus bangsa. Mereka, generasi muda kita kurang berminat terhadap budaya sendiri. Mereka lebih berminat terhadap budaya barat yang kini mendominasi ruang publik. Banyak yang merasa bahwa budaya asli kita sudah usang (Faris dalam hipwee.com, 2019).
Bagaimana persepsi ini bisa muncul? Menurut hemat penulis, pandangan ini muncul karena pendidikan budaya yang rendah di sekolah-sekolah kita. Sampai saat ini, pelajaran seni budaya hanya berkutat dengan hafalan semata. Apalagi tingkat urgensi/kepentingannya di antara peserta didik juga rendah. Kesannya, seni budaya menjadi bentuk formalitas K13 semata.
Terlebih lagi, seni budaya juga dianggap sebagai bidang yang terspesialisasi. Dengan kata lain, dia hanya mampu dipahami oleh peserta didik yang berbakat. Sehingga, peserta didik yang dianggap tidak berbakat (tidak bisa menari, menyanyi, dan lain-lain) tidak akan mampu mendalaminya dengan benar.
Selain kedua penyebab di atas, sistem pendidikan kita tidak memfasilitasi eksplorasi budaya bagi peserta didik. Kita terlalu berfokus pada perkembangan kognitif peserta didik. Memang pelajaran konvensional seperti matematika dan ekonomi penting. Akan tetapi, pendidikan juga wajib mewadahi peserta didik untuk menggali warisan budaya mereka.
Akibat dari ketiganya bisa diterka. Pendidikan budaya yang rendah dan hanya formalitas membuat banyak peserta didik gagal paham akan budayanya sendiri. Boro-boro tentang keunikan berbagai unit budaya Indonesia. Pertanyaan umum tentang pencapaian budaya modern kita saja tidak bisa dijawab.
Penulis pernah iseng menanyakan pertanyaan berikut kepada kelompok sebaya penulis yang semuanya generasi Z. “Tahu gak kalian album terbaik Indonesia sepanjang sejarah?” Ternyata, tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Album Badai Pasti Berlalu dari Eros Djarot, Jockie SP, dan Debby Nasution tidak muncul dari mulut mereka.
Dikotomi spesialisasi juga memunculkan ketimpangan pemahaman seni budaya. Artinya, ada sebagian kecil peserta didik yang sangat paham akan seni budayanya. Namun, ada sebagian besar peserta didik yang tidak paham akan akar seni budayanya. Begitu tidak paham, sampai relung kultural mereka diinfiltrasi oleh budaya-budaya luar.
Selanjutnya, tidak adanya eksplorasi budaya menimbulkan pandangan yang sempit terhadap budaya. Bagi banyak generasi muda, budaya adalah tarian tradisional, lagu daerah, ritual, dan lain sebagainya di permukaan. Sebetulnya, budaya lebih luas dan dalam dibanding itu. Dia adalah keseluruhan sistem bermasyarakat yang memunculkan karya-karya tersebut.
Gagal paham, pemahamannya timpang, serta sempit dalam memandang budaya. Kolaborasi ketiganya adalah bom waktu bagi identitas kita. Jika terus dibiarkan, maka dia akan meledak dan budaya kita akan ambyar. Bukannya bergelora, budaya kita malah terjebak dalam angkara. Hancur berkeping-keping karena dilupakan oleh generasi Indonesia Emas.
Maka dari itu, kita perlu solusi yang komprehensif. Sebuah upaya yang mampu memecah kegagalpahaman, memperkecil ketimpangan, dan memperluas pandangan peserta didik. Dampaknya, pemecahan ini akan membentuk insan muda yang memiliki kelindan dengan budayanya sendiri. Bagaimana solusi tersebut?
Penulis berpendapat bahwa kurikulum kita harus memberikan tugas eksplorasi budaya sejak sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA). Lantas, eksplorasi tersebut dicatat dalam sebuah jurnal perjalanan. Nama tugas tersebut adalah Jurnal Eksplorasi Budaya (JEB).
Jurnal yang menyerupai travel diary ini dimulai dari kelas satu SD. Pada tahap awal, setiap peserta didik harus mengidentifikasi warisan budaya mereka. Sederhananya, dari suku mana mereka berasal? Setelah mengetahui jawaban ini, peserta didik dapat memulai eksplorasi ini dengan pendampingan wali kelas.
Pada jenjang sekolah dasar, JEB akan berfokus kepada pengenalan produk-produk budaya mereka. Bagi siswa kelas satu hingga tiga, lensa diarahkan pada legenda, tarian, dan lagu tradisional. Sementara mitos, ritual, dan adat-istiadat difokuskan untuk siswa kelas empat sampai enam.
Selanjutnya, jenjang sekolah menengah pertama (SMP) akan berfokus kepada bahasa dan artefak. Dalam proses ini, siswa sebaiknya diwajibkan untuk mewawancara satu anggota keluarga tentang topik ini. Sehingga, pemahaman peserta didik terhadap budayanya sendiri menjadi lebih dalam.
Terakhir, jenjang sekolah menengah atas (SMA) berfokus kepada nilai dan norma sebagai landasan budaya. Pada eksplorasi ini, peserta didik seyogianya diharuskan untuk mewawancara satu tokoh budaya mengenai bahasan ini. Dari wawancara ini, mereka bisa membangun repositori wawasan budaya. Lantas, repositori ini menjadi dasar interpretasi kultural mereka.
Dalam setiap jenjang, akan ada tugas akhir yang berasal dari JEB ini. Peserta didik akan menerimanya di kelas enam, sembilan, dan dua belas. Format tugas akhir ini sebaiknya dibebaskan sesuai preferensi masing-masing siswa. Sementara penilaiannya diserahkan kepada guru seni budaya sesuai dengan indikator keberhasilan pelajaran.
Dari JEB ini, sekolah dapat merasakan merdeka belajar. Peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanyalah sebagai penyusun kriteria umum dan indikator keberhasilan dari program ini. Perihal penerapan dan penilaian diserahkan kepada sekolah masing-masing. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan penerapan JEB sesuai kondisi mereka.
Selain sekolah, murid juga merasakan merdeka belajar. Mereka dibebaskan untuk mempelajari budayanya sendiri dengan cara mereka. Begitu pula cara mereka menunjukkan pembelajaran itu. Dari fleksibilitas ini, muncul pemahaman yang lebih mengakar terhadap budaya yang diwariskan kepada mereka.
Jangan salah, murid tidak hanya merdeka belajar. Mereka juga diajak untuk belajar merdeka. Masih ingat Trisakti Bung Karno? Berkepribadian dalam kebudayaan adalah salah satu unsur kemerdekaan Indonesia. Melalui JEB, peserta didik sebagai generasi Indonesia Emas diajarkan untuk membangun pribadi yang berbudaya. Insan yang tidak lupa akan akar budaya sendiri.
Kesimpulannya, peserta didik sedang darurat kesadaran budaya. Masalah ini disebabkan oleh pendidikan budaya yang rendah serta hanya formalitas, dikotomi spesialisasi seni budaya, dan tidak adanya kesempatan eksplorasi budaya.
Akibatnya, terbentuk generasi muda yang gagal memahami budayanya, pemahamannya timpang, serta berpandangan sempit kepada budaya. Dari sini, kita perlu JEB sebagai medium pembudayaan berbasis siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Basrahil, Abdillah. (2018). Pemikiran Pendidikan Tan Malaka Dalam Perspektif Konferensi Pendidikan Islam Pertama
Faris, Boby Akbar. (2019, 21 Mei). Lunturnya Minat Generasi Muda Terhadap Seni dan Budaya Nasional
Sari, Rita Wulan. (2014). UPACARA BUKAKAK PADA MASYARAKAT BALI DESA BRAJA FAJAR KECAMATAN WAY JEPARA KABUPATEN LAMPUNG TIMUR TAHUN 2013