Membedah Kesesatan Berpikir dan Cara Mengatasinya

Persatuan Mahasiswa Indonesia
4 min readOct 15, 2021

--

Diulas oleh: Andi Ahmad Haidir

Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang mampu berpikir secara bijak dan rasional. Dalam sejarah panjang eksistensi manusia, berpikir merupakan fondasi awal yang membangun peradaban manusia ke arah pemikiran kontemporer yang mengutamakan sifat rasional dan bijaksana. Seiring berjalannya waktu, manusia mampu merekonstruksi dan meninggalkan peradaban konservatif yang berdasar pada cara berpikir yang dangkal. Oleh karena itu, jika kita menginginkan kemajuan suatu peradaban maka mulailah dengan mengubah cara berpikir diri sendiri terlebih dahulu. Hal ini bisa diawali dengan melatih kemampuan bernalar.

Mampu bernalar dengan baik merupakan impian bagi penulis dan mungkin bagi sebagian besar orang. Ketika seseorang mampu bernalar dengan baik, argumen yang disampaikan akan mudah diterima. Namun, dewasa ini timbul kekhawatiran, tidak jarang penulis melihat dalam perdebatan dunia maya ataupun nyata, seseorang kerap kali bertukar argumen tanpa mendahulukan penalaran logis atas klaim yang diargumentasikan. Dengan kata lain, saat seseorang saling bertukar argumen tanpa mempertimbangkan rasionalitas, arah perdebatan menjadi tidak jelas. Apalagi jika di awal perdebatan pemaknaan definisi sudah berbeda, akhirnya seseorang akan terjebak dalam debat kusir. Hal semacam ini sering disebut sebagai logical fallacy (sesat berpikir).

Salah satu jenis logical fallacy yang kerap penulis jumpai, yaitu argumentum ad hominem. Singkatnya jenis ini menolak pandangan orang lain dengan cara meruntuhkan diluar pandangannya. Meskipun itu didasarkan pada argumen-argumen yang kuat. Sebagai contoh, misalnya seorang mahasiswa menyampaikan argumennya terkait kebijakan seorang rektor atas regulasi UKT yang memberatkan mahasiswa kampus X di tengah pandemi. Lantas karena tidak setuju, rektor ini menolak dan enggan menyampaikan alasannya. Bahkan alih-alih memberi ruang diskusi secara sehat dan terbuka, argumen mahasiswa tadi diruntuhkan dengan cara menyerang kepribadiannya. Tentu hal ini keliru dari sisi logika, bahwa kepribadian seseorang itu satu hal sedangkan argumennya adalah hal yang lain. Jika kita bijak melihat permasalahan ini,seharusnya kita berfokus pada argumentasinya bukan orangnya.

Berdasarkan contoh di atas, logical fallacy menurut Edward Damer dapat diartikan sebagai pelanggaran atas standar pembangunan argumen yang baik. Dari sudut pandang ini argumen dilihat sebagai kumpulan klaim atau pernyataan yang diajukan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan klaim yang lain (Muhammad Nuruddin: 2021). Argumen berasal dari proses olah persepsi indrawi manusia terhadap suatu objek pengamatan. Oleh karenanya, keberadaan argumen sangat dinamis sehingga ia bisa benar, juga bisa salah maka untuk membuktikan benar tidaknya argumen, kita perlu menyuguhkan pernyataan atau klaim yang menjadi landasan.

Secara umum ada dua trik membangun argumen yang baik. Pertama, perjelas konsep-konsep yang akan diargumentasikan. Misal, kita ingin berdiskusi, apakah Indonesia menganut sistem ekonomi komando atau sistem ekonomi pasar, atau bukan keduanya? Tentu di awal diskusi, kita perlu berangkat pada pemahaman, Apa itu sistem ekonomi komando, dan apa itu sistem ekonomi pasar. Kata kunci ini perlu dijelaskan terlebih dulu oleh kedua pihak. Hal ini penting karena kita tidak mungkin sampai pada kesimpulan yang jelas, sementara konsep kunci yang disertakan masih mengandung makna-makna yang belum jelas. Kedua, buat premis yang baik dan benar. Singkatnya menurut aturan silogisme, premis terdiri dari premis minor, premis mayor dan konklusi. Ketiga unsur ini membentuk argumen yang baik dan sesuai kaidah, jika premisnya jelas dan konklusi yang dihasilkan konsisten. Namun, khusus untuk membuat premis yang baik dan benar akan dibahas secara terpisah oleh penulis.

Setelah berbicara baik dan benar suatu argumen secara kaidah, lantas bagaimana dengan substansi pandangannya? Ini penting untuk dibahas mengingat di kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita mengklaim pandangan ini benar, pandangan itu salah. Keyakinan ini benar, dan keyakinan itu salah. Akan tetapi, tolok ukur apa yang kita pakai untuk menjustifikasi klaim seperti ini? Tentu jawaban tiap orang akan berbeda, ada yang menggantungkan kebenaran pada suara mayoritas, ada yang menggantungkan kebenaran pada otoritas, dan ada pula yang menggantungkan kebenaran pada keimanan, dst. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah tolok ukur di atas dapat dijadikan pembenaran? Mengacu pada buku Logical Fallacy: Menguak Kesalahan-Kesalahan Berpikir yang Kerap Kita Jumpai Sehari-hari karya Muhammad Nuruddin, Kita akan mengetahui jawabannya adalah tidak.

Muhammad Nuruddin menerangkan dalam bukunya, ada dua teori yang sering dijadikan rujukan untuk menentukan benar atau tidaknya suatu pandangan. Pertama teori Korespondensi. Teori ini menyatakan bahwa benar atau tidaknya suatu pandangan bergantung pada sesuai tidaknya ia dengan realitas (kenyataan) yang ada. Jika pernyataan tentang suatu realitas itu sesuai dengan realitasnya sendiri, maka ia bisa dinyatakan benar. Jika tidak, maka ia salah. Namun perlu digaris bawahi realitas yang dimaksud di sini tidak terbatas pada realitas fisik, bahwa di luar sana ada realitas non fisik atau wujud metafisik. Dengan kata lain, menurut pandangan ini, Jika suatu pandangan berkorespondensi (berhubungan) dengan kenyataan (dalam arti keadaan sesuatu di alam luar), baik itu realitas fisik maupun non-fisik, maka dia benar. Jika tidak, ia salah.

Kedua, teori Koherensi. Teori ini menyatakan bahwa benar-salahnya suatu pandangan itu ditentukan oleh konsistensinya dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah disepakati kebenarannya. Menurut hemat penulis, teori ini ingin mengatakan bahwa benar-salahnya suatu kesimpulan tergantung pada konsistensinya dengan kesimpulan-kesimpulan lain, atau pernyataan-pernyataan lain, yang telah disepakati sebelumnya. Kalau ia konsisten, maka ia benar. Kalau tidak, maka salah. Bentuk pernyataan-kesimpulan ini sebenarnya bisa ditentukan dalam bentuk silogisme. Asalkan kesimpulan dari suatu silogisme itu konsisten dengan landasan premisnya yang telah disepakati kebenarannya.

Dalam banyak persoalan mengenai logical fallacy pada saat menyusun argumen ataupun mengklaim suatu pandangan, kita perlu lebih bijak menyandarkan kebenaran pada kesesuaian realitas serta memperhatikan konsistensinya. Dengan demikian, kesesatan berpikir dapat dihindari. Perlu menjadi catatan bahwa meski kesesatan berpikir sebisa mungkin untuk dihindari, tidak dapat dipungkiri, baik sengaja maupun tidak seringkali kita terjebak di dalamnya. Namun, tidak masalah. Penulis pun sadar sering melakukan kesesatan berpikir, dan hal ini wajar, asal kita mampu mengoreksi kesalahan itu, dengan begitu, upaya ini membuktikan kita sebagai seorang pembelajar.

REFERENSI

Nuruddin, Muhammad. 2021. Logical Fallacy Menguak Kesalahan-Kesalahan Berpikir yang kerap Kita Jumpai Sehari-hari. Ciracas, Depok: Gemala.

Bo Bennett. 2020. Logically Fallacious The Ultimate Collection of Over 300 Logical Fallacies. Boston: Archieboy Holdings, LLC

--

--

Persatuan Mahasiswa Indonesia
Persatuan Mahasiswa Indonesia

Written by Persatuan Mahasiswa Indonesia

Wadah bagi Mahasiswa Indonesia yang menghendaki kemajuan bangsa.

No responses yet